Rabu, 01 Desember 2010

Ujub, Sum'ah dan Riya'

Definisi Ujub.

Sufyan Ats-Tsauri rohimahumulloh, meringkas definisi ujub sebagai berikut:

“Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri sehingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi perkara haram lebih suci jiwanya ketimbang dirinya”

Imam Syafi’i rohimahumulloh berkata :

“Baransgsiapa yang mengangkat-angkat diri secara berlebihan, niscaya Allah akan menjatuhkan martabatnya”

Orang yang terkena penyakit ujub akan memandang remeh dosa-dosa yang dilakukannya dan menganggapnya bagai angin lalu.

Nabi SAW telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits:

“Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan mengibaskan tangan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di bawah kaki gunung yang siap menimpanya” (HR. Bukhari)

Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata:

“Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ujub terhadap diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Dia berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.”

Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak karena penyakit ujub?

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa seorang lelaki berkata:

“Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:

“Siapakah yang lancang bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!” (HR. Muslim)

Sebab-Sebab Ujub

1. Faktor Lingkungan dan Keturunan

Yaitu keluarga dan lingkungan tempat seseorang itu tumbuh. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau salah satunya yang positif maupun negatif, seperti sikap senang dipuji, selalu menganggap diri suci dll.

2. Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan

Sering kita temui sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam memuji hingga seringkali membuat yang dipuji lupa diri.

3. Bergaul Dengan Orang yang Terkena Penyakit Ujub.

Tidak aneh lagi/sudah jelas bahwa setiap orang akan mengikuti pola tingkah laku temannya. Rasulullah SAW sendiri bersabda:

“Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang jahat adalah seperti orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pkitai besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Begitu banyak nikmat yang diterima seorang hamba, tetapi ia lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya nikmat itu. Sehingga hal itu menggiringnya kepada penyakit ujub, ia membanggakan dirinya yang sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan kepada kita kisah Qarun;

“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash: 78)

5. Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna

Sekarang ini banyak kita temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata pepatah ‘sudah dipetik sebelum matang’. Yang lebih parah lagi adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia tidak memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang banyak permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu Sepintas lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun lambat laun masyarakat akan tahu bahwa mereka telah tertipu!

6. Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri (Lupa Daratan)

Sekiranya setiap manusia benar-benar merenungi dirinya, asal-muasal penciptaannya sampai tumbuh menjadi manusia sempurna, niscaya ia tidak akan terkena penyakit ujub.

7. Berbangga-bangga Dengan Nasab dan Keturunan

Setiap manusia terkadang memandang mulia diri-nya karena darah biru yang mengalir di tubuhnya, jabatan yang dimilikinya, maupun status social dalam dirinya. Ia menganggap dirinya lebih utama dari si Fulan dan Fulan. Ia tidak mau mendatangi si Fulan sekalipun berkepentingan. Dan tidak mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak syak lagi, ini merupakan penyebab utama datangnya penyakit ujub.

8. Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan dan Menghormati

Barangkali inilah hikmahnya Rasulullah SAW melarang sahabat-sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda

“Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk menempati tempatnya di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits ini hasan)

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:

“Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)

9. Lengah Terhadap Akibat yang Timbul dari Penyakit Ujub

Sekiranya setiap manusia menyadari bahwa ia hanya menuai dosa dari penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan menyadari bahwa ujub itu adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan kuasa bersikap ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasulullah SAW:

”Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sendal yang dipakainya juga bagus?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) awal hadits berbunyi: “Tidak akan masuk Surga orang yang terdapat sebesar biji zarrah kesombongan dalam hatinya).

Definisi Sum’ah

Pengertian sum’ah secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya -yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi- kepada manusia lain agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Bahwa riya adalah sikap seseorang yang beramal bukan untuk Allah; sedangkan sum’ah adalah sikap seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun ia bicarakan hal tersebut kepada manusia. Sehingga, menurutnya semua riya itu tercela, sedangkan sum’ah adalah amal terpuji jika ia melakukannya karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia membicarakan amalnya di hadapan manusia.

Dalam Al-Qur’an Allah telah memperingatkan tentang sum’ah dan riya ini:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264)

Rasulullah SAW juga memperingatkan dalam haditsnya:

Siapa yang berlaku sum’ah maka akan diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah dan siapa yang berlaku riya maka akan dibalas dengan riya. (HR. Bukhari)

Penjelasan hadits diatas adalah,

Diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah maksudnya adalah diumumkan aib-aibnya di akhirat. Sedangkan dibalas dengan riya artinya diperlihatkan pahala amalnya, namun tidak diberi pahala kepadanya. Na’udzubillah min dzalik.

(BUKHARI - 5955) : Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Celakalah budak dinar, budak dirham dan budak pakaian (sutra kasar) serta budak Khamishah (campuran sutera), jika diberi ia akan ridla dan jika tidak diberi maka dia tidak akan ridla."

Penjelasan hadits diatas:

Pelajaran apa yang bisa diambil dari hadis tersebut? Sungguh, ia merupakan pelajaran akhlak yang amat agung. Penyebutan jenis-jenis materi di atas hanyalah sebatas contoh. Jadi, walaupun hadis itu hanya menyebut "dinar", "dirham", dan "sutera", tentu materi apapun jenisnya bisa disamakan. Bahkan tak terbatas pada materi saja, hal-hal yang berupa emosi (senang, benci, cinta, dan semacamnya). Sehingga bisa disamakan ke dalam pengertian hadis tersebut ungkapan seperti "tak senang karena tak diberi, senang karena diberi", "membenci karena dibenci", "mencintai karena dicintai", "memukul karena dipukul", "tak menghormati karena tidak dihormati", dan seterusnya.

Definisi Riya’

Secara syar’I, para ulama berbeda pendapat dalam memerikan definisi riya’, namun intinya sama, yakni seorang melakukan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun ia lakukan bukan karena Allah melainkan tujuan dunia.

Al Qurthubi mengatakan,” hakekat riya’adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan arti asalnya adalah mencari tempat di hati manusia”[lihat: Al Ikhlas, DR Umar Sulaiman Al Asyqor]

Jadi riya’ adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia sehingga mereka memuji pelakunya dan ia mengharapkan pengagungan dan pujian serta penghormatan dari orang yang melihatnya. [lihat : Fathul Bari 11/336, Al Ikhlas wa Syirkul Asghor hal 9].

Orang riya’ ingin memperlihatkan superioritas dirinya kepada manusia.

Orang riya’ ingin mendapatkan bagian keduniawian dari amal perbuatannya.

Orang riya’ mencari amal perbuatan yang mestinya hanya antara dirinya dengan Allah, tetapi dengan bertujuan kepada selain Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mulia, dan selain kehidupan akhirat.

Orang yang riya’ ingin melakukan suatu ibadah yang telah diperintahkan Allah, akan tetapi ia melakukannya bukan karena Allah.

Riya’ adalah topeng-keterpedayaan yang dapat menutupi manusia yang berwajah masam, berjiwa buruk dan hati manusia yang keras.

Riya’ merupakan tabir halus (cat pelapis) yang memburamkan antara suatu kejelekan dengan kejelekan lainnya.

Riya’ merupakan barang palsu (imitasi) yang dijajakan di pasar untuk diperdagangkan, selamanya riya’ tidak akan menguntungkan.

Riya’ merupakan suatu kesamaran, yang tidak dapat diindera dan diketahui oleh semua orang.

Dalam hadits yang lain, Rasulullah menjelaskan tentang kekhawatirannya atas umat ini terhadap riya yang akan menimpa mereka. Riya yang tidak lain merupakan syirik kecil.

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Riya.” “Allah akan berfirman pada hari kiamat nanti ketika Ia memberi ganjaran amal perbuatan hamba-Nya, ‘Pergilah kalian kepada orang yang kalian berlaku riya terhadapnya.’ Lihat Apakah kalian memperoleh balasan dari mereka?” Kemudian Rasulullah mendengar seseorang membaca dan melantunkan dzikir dengan suara yang keras. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya dia amat taat kepada Allah.” Orang tersebut ternyata Miqdad bin Aswad. (HR. Ahmad)

Faktor-faktor penyebab riya dan sum'ah adalah sebagai berikut:

1. Latar belakang kehidupan

Jika seorang anak tumbuh dalam asuhan keluarga yang memiliki suasana riya dan sum'ah, atau ia tumbuh dalam lingkungan dengan tradisi perilaku riya dan sum'ah yang kental, maka sangat besar kemungkinannya ia juga terjangkit penyakit hati itu. Karenanya, Rasulullah berpesan agar umatnya memilih pasangan hidup yang islami.

Kepada para ikhwan, beliau berpesan “...Maka pilihlah wanita yang taat menjalankan agama, niscaya engkau akan beruntung.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Kepada orang tua atau wali dari akhwat beliau berpesan, “Jika didatangi oleh seseorang (untuk meminang putrimu) yang engkau ridha akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu)”. (HR. tirmidzi)

2. Persahabatan yang buruk

Yang dimaksud dengan persahabatan yang buruk adalah memiliki sahabat yang berperangai buruk, dalam arti memiliki sifat riya’ maupun sum’ah. Persahabatan yang buruk juga bisa mengakibatkan riya dan sum'ah. Terutama bagi orang yang lemah kepribadiannya sehingga mudah terpengaruh. Sangat pentingnya persahabatan ini sehingga Rasulullah mengumpamakan dengan penjual minyak wangi dan pandai besi. Kita bisa mendapat “bau harum” dari pertemanan, kita juga bisa terkena “asap” dan “bau tidak sedap” dari pertemanan.

3. Tidak memiliki ma'rifatullah

Jika seseorang memiliki ma'rifatullah yang baik, ia akan beribadah ikhlas kepada Allah dan yakin ibadah itu dilihat oleh Allah dan dinilai-Nya. Ia juga sadar jika niatnya sudah beralih kepada pkitangan manusia, Allah justru tidak memberinya apa-apa. 4. Ambisi mendapatkan kedudukan atau kepemimpinan

Seseorang karena ingin memiliki kedudukan tinggi dalam pandangan manusia atau supaya orang lain menilai ia layak mendapatkan amanah kepemimpinan menjadikannya bersikap riya dan sum'ah. Ia ingin segala amal kebaikannya terekspos dan secara langsung mempengaruhi pencitraannya. Ia dianggap baik, shalih, dihormati, dikagumi, dan diangkat atau dipilih menjadi pemimpin.

5. Tamak terhadap milik orang lain

Sikap tamak terhadap harta atau ingin memiliki lebih dari yang dimiliki oleh orang lain juga bisa mengakibatkan riya dan sum'ah. Seperti orang yang berperang tetapi niatnya mendapatkan ghanimah, atau popularitas. Sebagaimana diriwayatkan Abu Musa bahwa Rasulullah pernah ditanya, “Ya Rasulullah, ada seorang yang berperang untuk memperoleh ghanimah, ada yang ingin disebut-sebut, dan ada yang ingin posisinya dilihat manusia. Manakah diantara mereka yang berperang di jalan Allah?” Rasulullah SAW menjawab, “Barangsiapa berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, dialah mujahid fi sabilillah.” (HR. Bukhari)

6. Suka dipuji dan disanjung

Perangai suka dipuji dan disanjung akan mendorong seseorang berlaku riya dan sum'ah, sementara kritik justru akan membuatnya maju menjadi lebih baik.

7. Terlalu ketat penilaian pemimpin/qiyadah

Dalam sebuah organisasi atau jamaah, jika pemipin atau qiyadah terlalu ketat dalam menilai seseorang, bisa mengakibatkan timbulnya riya dan sum'ah pada orang tersebut, khususnya yang tidak memiliki jiwa besar. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang baik itu tidak mengerjakan sesuatu kecuali ia menilainya baik dan tidak meninggalkan sesuatu kecuali jika ia menilainya buruk.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

8. Terlalu dikagumi orang lain

Terlalu dikagumi orang lain juga bisa bisa menjadi sebab timbulnya riya dan sum'ah. Kekaguman bisa menjadi semacam candu. Semakin dikagumi seseorang akan semakin berusaha agar kekaguman orang lain bertahan atau meningkat. Karenanya Rasulullah mengingatkan agar tidak memuji orang di depannya secara langsung.

9. Takut menjadi omongan orang lain

Ini juga bisa menyebabkan timbulnya riya dan sum'ah. Karena takut dinilai jelek orang lain, atau menjadi bahan perbincangan, menjadi obyek ghibah, maka seseorang kemudian berbuat yang baik dan berupaya mengeksposnya, atau mendemonstrasikan kebaikan dan amal shalihnya.

10. Lalai terhadap dampak buruk riya dan sum'ah

Ketidaktahuan dan kelalaian seseorang terhadap dampak buruk dan bahaya riya dan sum'ah menjadikannya tidak merasa salah atau menyesal berlaku riya dan sum'ah, bahkan larut dalam sikap itu. Sebaliknya, jika seseorang memahami dengan baik dampak riya dan sum'ah, yang sangat merugikan dirinya di akhirat kelak, ia akan berusaha menjaga diri agar terhindar dari riya dan sum'ah itu.

Perbedaan Riya dan Sum’ah

Imam Bukhori -rahimahullah- dalam shahihnya membuat bab Ar Riya’ was Sum’ah dengan membawakan hadits Rasulullah SAW

“Barangsiapa memperdengarkan(menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya (dihadapan manusia pada hari kiamat kelak)” (HSR Bukhori juz 7/189 dan Muslim no 2987].

Perbedaan riya dan sum’ah ialah Riya’ berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain, Riya’ berkaitan dengan indra mata, sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga [lihat : Al Ikhlas hal 95, DR Umar Sulaiman Al Asyqor].

Perbedaan antara Riya dan ‘Ujub

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- mengatakan,” Seringkali orang menghubungkan antara riya’ dan ‘ujub, padahal riya’ merupakan perbuatan syirik kepada Allah karena makhluk, sedangkan ‘ujub adalah syirik kepada Allah karena nafsu [ lihat: Majmu Fatawa 10/277]

Imam Nawawi -rahimahullah- berkata,” ketahuilah bahwa keikhlasan niat terkadang dihalangi oleh penyakit ‘ujub. Barangsiap berlaku ‘ujub (mengagumi) amalnya sendiri maka akan terhapus amalnya. Demikian juga orang yang sombong [lihat : Syarh Arba’in hal 5].

Rasulullah SAW bersabda,” Tiga perkara yang membinasakan, yaitu hawa nafsu jika dituruti, kebakhilan (kikir/pelit) yang ditaati, dan kebanggan seseorang terhadap dirinya.” [HSR AbuSyaikh dan Thabrani dalam Mu’jam Ausath-lihat : Shahih Jami’us Shaghir no 3039]

Setelah kita mengetahui definisi dan bahaya serta sebab-sebab timbulnya dari Ujub, Riya’ maupun Sum’ah, maka berikut ada tips/saran/kaidah untuk sedikit-sedikit kita dapat terhindar dari bahaya ujub, riya’ maupun sum’ah dan semacamnya:

1. Kita harus sadar dan tahu bahwa yang kita perbuat itu benar dan baik. Untuk itu, biasakan berfikir dan berupaya keras memutuskan dengan tepat setiap langkah kita: apa (yang kita lakukan), bagaimana (kita melakukan), dan kenapa (kita lakukan). Jangan berfikir sempit dan pendek, tapi usahakan selalu menggali dampak-dampak dan akibat-akibat perbuatan kita jauh ke depan: manfaat dan madlarratnya. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak bersikap tegas dan berani. Jika sudah mampu demikian, maka kita akan penuh percaya diri dan mantap dalam setiap langkah. Jangan takut untuk berbeda, selama kita yakin apa yang kita perbuat itu benar. Namun, jangan lantas merasa benar sendiri, sehingga membenci orang lain yang kita anggap salah. Dengan kata lain, ikhlas identik dengan kemantapan, percaya diri, ketenangan dan kekokohan jiwa, juga kecerdasan, sedangkan riya' (sum'ah, 'ujub) identik dengan keragu-raguan, keresahan, jiwa yang labil, dan juga kebodohan.

2. Upayakanlah dalam setiap waktu untuk mengingat Allah; sesering mungkin 'berbisik-bisik' dengan Allah (mengeluh dan mengadu hanya kepada Allah). Luangkan waktu, di pagi dan sore tiap hari, sekitar seperempat sampai setengah jam untuk dzikir dan instropeksi diri: apa yang telah dan mau dilakukan.

3. Sadarlah bahwa Allah senantiasa mengetahui gerak-gerik kita. Bersamaan dengan itu, cukupkanlah kepuasan kita dengan pengetahuan

Allah akan segala tindakan kita. Kita akan puas hanya dengan diketahui Allah jika kita merasa takut dan berharap hanya kepada-NYA.

4. Ketahuilah hanya Allah yang akan mengganjar semua amal perbuatan kita semua.

5. Lakukan doa-doa dengan khusyuk. Senantiasa memohon agar dikaruniai hati yang tulus dan ikhlas (Allahummarzuqnaa al-ikhlaas wa al-istiqaamah wa hubba Allah wa hubba man ahabbah = Ya Allah, karuniailah kami keikhlasan, istiqaamah, mencintai Allah, dan orang-orang yang mencintaiNYA)

6. Kita senantiasa melihat orang lain lebih baik di sisi Allah dari diri kita sendiri. Sebagai contoh: jika kita melihat orang yang lebih muda daripada kita maka hendaklah kita berkata:

“Anak ini masih muda usia, belum banyak berbuat maksiat kepada Allah sedangkan aku sudah tua tentu telah banyak berbuat maksiat. Maka tidak syak lagi bahwa ia lebih baik daripada aku di sisi Allah".

Apabila kita melihat orang yang lebih tua daripada kita maka hendaklah kita berkata:

“Orang tua ini sudah beribadah kepada Allah lebih dahulu daripada aku maka tidak syak lagi bahwa ia lebih baik daripada aku?”.

Apabila kita melihat orang alim, maka hendaklah kita berkata:



“Orang alim ini telah dikurniakan kepadanya bermacam-macam pemberian yang tidak dikurniakan kepadaku dan ia telah sampai ke martabat yang aku tidak sampai kepadanya dan ia mengetahui berbagai masalah yang tidak aku ketahui, maka bagaimana aku bisa sepertinya?”.

Apabila kita melihat orang yang bodoh, maka hendaklah kita berkata:

“Orang ini bodoh lantas ia berbuat maksiat kepada Allah dengan kejahilannya, tetapi aku melakukan maksiat dengan ilmuku, maka bagaimana aku dapat menjawab di hadapan Allah nanti?”

Apabila kita melihat orang kafir, maka hendaklah kita berkata:

“Aku tidak tahu, kemungkinan orang kafir ini akan beriman, memeluk agama Islam dan akhirnya mempunyai husnul khatimah, sedangkan aku tidak tahu apakah akan bisa menjaga keimanan ini hingga akhri hayat dan mendapatkan husnul khatimah?”

Begitu besar dan bahayanya penyakit-penyakit hati (riya’, ujub maupun sum’ah) tersebut, dan betapa gencarnya syaitan berusaha mengajak dan menggoda manusia agar tergelincir dari amalan-amalan serta ibadah-ibadah yang telah kita lakukan

Untuk itu kita dianjurkan untuk juga berdoa dengan doa sebagai berikut :

"Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu, agar tidak menyekutukan kepada-Mu, sedang aku mengetahuinya dan minta ampun terhadap apa yang tidak aku ketahui." (HR. Ahmad dan imam yang lain 4/403, lihat Shahihul Jami' 3/233, dan Shahihut Targhrib wat Tarhib oleh Al-Albani 1/19)

Cukuplah dialog antara Fudhail bin 'Iyadh dengan Sufyan Ats-Tsauri sebagai pelajaran yang berharga bagi kita akan bahaya riya'. Berkata Abu 'Abdillah Al-Anthoki, "Fudhail bin 'Iyadh bertemu dengan Sufyan Ats-Tsauri lalu mereka berdua saling mengingat (Allah) maka luluhlah hati Sufyan atau ia menangis. Kemudian Sufyan berkata kepada Fudhail, "Wahai Abu 'Ali sesungguhnya aku sangat berharap majelis (pertemuan) kita ini dan rahmat dan berkah bagi kita", lalu Fudhail berkata kepadanya, "Namun aku, wahai Abu Abdillah, takut jangan sampai majelis kita ini adalah majelis yang mencelakakan kita", Sufyan berkata, "Kenapa wahai Abu Ali?", Fudhail berkata, "Bukankah engkau telah memilih perkataan yang terbaik lalu engkau menyampaikannya kepadaku, dan akupun telah menyampaikan telah menyampaikan perkataanku yang terbaik lalu aku sampaikan kepadamu, berarti engkau telah berhias untuk aku dan akupun telah berhias untukmu", lalu Sufyan pun menangis dengan lebih keras daripada tangisannya yang pertama dan berkata, "Engkau telah menghidupkan aku semoga Allah menghidupkanmu. "

Semoga kita semua bisa menjaga dan terhindar dari penyakit Ujub, Riya’ maupun Sum’ah ..amin..

Wassalam

17 komentar:

  1. alhamdulillah ketemu blog ini, inspiratif sekali

    BalasHapus
  2. ciiip lengkaplah pnjelasan nya ijin sedot ah buat di amalin heee

    BalasHapus
  3. Ana juga ijin share ya...
    Jazakallohu khoyr

    BalasHapus
  4. Saya mohon ijin share ya
    Sokron

    BalasHapus
  5. Silahkan..selama dirasakan bermanfaat..

    BalasHapus
  6. alhamdulillah.. terimakasih pak ustad, ini sangat bermanfaat buat sya karen saya sudah lama terkena panyakit ini,,

    BalasHapus
  7. jazgakallah....mohon izin mengcopy semoga bermanfaat

    BalasHapus
  8. saudara, saya share ya artikel ini

    BalasHapus
  9. ijin share ya..
    بارك الله فيك - Semuga Allah memberkahimu

    BalasHapus
  10. ijin share juga ya
    بارك الله فيك - Semuga Allah memberkahimu

    BalasHapus
  11. Jazakallahu khair..mohon share

    BalasHapus